Dalam karya yang berjudul “Teater 5 Agustus” (1993/1994), Tisna Sanjaya mengungkapkan sisi humanis dengan dimensi bahasa yang kritis. Pada latar depan terlihat ekspresi berontak seorang manusia yang terkurung dalam kotak jeruji. Di sekitarnya mengancam makhluk-makhluk berwajah seram. Di antaranya dua sosok bertopi dengan lencana bintang, sebagai atribut yang identik dengan tentara. Sebuah persidangan besar, yang memparodikan perjamuan (The Last Supper) karya Da Vinci, tergelar sebagai latar belakang. Di dalamnya sang pemimpin duduk di tengah meja persidangan, menatap manusia yang berontak dalam jeruji. Sementara di samping kanan kirinya, manusia dan binatang berjajar mendengar sabdanya. Pada balkon tampak beberapa figur menyaksikan apa yang terjadi. Berbagai bentuk deformasi figur dan dominansi warna gelap, menjadikan karya surrealisme ekspresif ini menggambarkan betapa mencekamnya peristiwa itu.Tisna Sanjaya adalah seorang seniman yang kritis terhadap permasalahan sosial politik yang terjadi di sekelilingnya. Ia juga membawa tradisi seni kontemporer dengan memasukkan idiom-idiom parodi dalam karyanya. Dengan jalan dekonstruksi itu, lewat mengangkat idiom karya lama dari para maestro ia menyampaikan berbagai kontradiksi dan ironi masalah kontekstual. Tema-tema kemanusiaan dengan berbagai dimensi absurdnya merupakan sumber inspirasi yang tak terperikan, lebih-lebih dalam seting sosial politik pada masa Orde Baru di Indonesia. Wacana estetik humanisme kontekstual yang dibangunnya menempatkan ia sebagai seniman kontemporer yang penting.Secara simbolik dalam karya “Teater 5 Agustus” ini terungkap suara kritis, bagaimana ekspresi jiwa berontak dalam tubuh yang terkurung. Sebuah ironi kehidupan di mana keadilan terbelenggu dalam bayang-bayang kekerasan yang mengancam. Nilai kemanusiaan telah tersingkir di tangan para penguasa. Karya ini menghadirkan satir pada proses pengadilan yang teaterikal dan empati pada dimensi humanisme yang runtuh.