Karya Sudarso ini merupakan tipikal karya-karya pelukis Yogyakarta, periode sanggar-sanggar yang mengusung paradigma estetik kerakyatan. Dalam lukisan “Wanita Menanti” (1982) digambarkan dengan kuat suatu ekspresi perempuan desa yang lugu pendukung ekspresi itu adalah gestur tubuh yang duduk meliuk, dengan penanda pakaian kebaya dan kain panjang, bekal dalam pembungkusan kain, serta alam perdesaan yang hijau dan sunyi. Gaya realisme Sudarso yang halus, memang dikenal sangat piawai untuk mewujudkan sosok-sosok tubuh perempuan. Pelukis ini bahkan identik dengan objek-objek perempuan desa yang lugu, namun selalu memiliki bentuk kaki yang indah.Pilihan idiom visual dalam paradigma estetik kerakyatan memang mempunyai variasi yang luas. Nafas kehidupan rakyat bisa jadi terungkap lewat objek-objek manusia yang padat dengan aktivitas kerja, lewat idiom seni rakyat, lewat perempuan desa, sosok pelacur, bahkan para jelata yang pilihan hidupnya habis menjadi pengemis. Menjadi catatan sejarah yang penting bahwa pandangan estetik itu berkembang dari kondisi sosiokultural yang galau dan berat. Dengan demikian karya-karya pelukis itu sebenarnya menjadi cermin dari suatu jiwa zaman yang sedang tumbuh.Karya ini bisa dimaknai sebagai dimensi absurd kehidupan universal. Penantian pada suatu ketidakjelasan bisa dilihat dari ekspresi wajah perempuan yang kosong. Lewat penanda-penanda visual yang ada, semakin memberi tekanan, bagaimanakah kegalauan penantian itu jika terjadi pada manusia-manusia bersahaja dari desa. Lewat karya itu, Sudarso sebenarnya lebih menggali sisi psikologis yang absurd daripada sekedar kecantikan sosok wanita yang sedang menanti itu.